Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, Januari 15, 2009

URGENSI ETIKA LINGKUNGAN

URGENSI ETIKA LINGKUNGAN
Oleh Muhammadun

Pengantar
Banjir lagi, banjir lagi. Banjir kembali melanda Riau. Empat sungai besar di Riau melimpah. Puluhan ribu rumah terendam. Ratusan ribu jiwa mengungsi. Harga bahan pokok pun kian melambung. Sementara berbagai penyakit mulai menimpa korban banjir. Kapolda Riau Brigjen (Pol) Sutjiptadi langsung mengatakan illlegal logging lah penyebab ini semua. ,Realitas di lapangan memang kita menyaksikan hutan makin luluh lantak. Kawasan konservasi dan kawasan lindung kini berubah menjadi hamparan kebun kelapa sawit. Namun, masih ada kalangan pejabat yang menjustifikasi banjir ini sebagai sebuah kejadian biasa. ”Dari dulu juga sudah biasa banjir” kata mereka. Tentu ini naif sekali. Kalau sudah biasa mestinya harus ada upaya pencegahan atau antisipasinya.
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri (egoisme).
Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT Newmont, kasus lumpur Lapindo hingga kasus-kasus korupsi birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi perdagangan global, semuanya berkaitan dengan masalah etika. Masalah moral dan perilaku manusia. Terutama berkaitan dengan kerakusan dan kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara dalam mengeksploitasi alam.
Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf Barat modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku kapitalistik yang eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam.
Oleh karena itu krisis lingkungan dewasa ini, menurut Naess(1993) hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Perubahan dari etika antroposentrisme ke etika biosentrisme dan ekosentrisme. Keraf (2002) menegaskan bahwa gagasan Naess ini adalah revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat yang punya kesadaran spiritualitas dalam interaksinya dengan alam. Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh banyak kalangan masyarakat di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat modern.
Rasulullah misalnya dalam hadits riwayat Bukhari bersabda:“ Tidaklah seorang muslim yang menanam suatu tanaman, lalu dimakan oleh burung, manusia ataupun binatang, kecuali hal itu (dinilai sebagai) sedekah baginya” . Nabi SAW juga bersabda “ Jikalau kamu dipastikan mati esok pagi, sementara di tanganmu terdapat benih korma, maka tanamlah !” Bahkan ketika Rasulullah SAW mem-briefing pasukan jihad, beliau senantiasa berpesan “…jangan kalian bunuh perempuan, anak-anak, laki-laki yang renta, jangan kalian rusak tempat-tempat ibadah, dan jangan kalian tebang pohon-pohon”. Dalam kondisi darurat perang saja dilarang menebang pohon. Kini, kita di Indonesia dalam keadaan damai, puluhan juta hektar hutan luluh lantak. Wajar jika musibah terus melanda.

Krisis Lingkungan dan Ideologi Developmentalisme
Krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Degradasi kualitas sumberdaya alam semakin mengerikan. Celaknya, manusia modern yang sekuler tidak mampu menahan laju degradasi lingkungan ini. Hukum lingkungan tidak berdaya dalam mencegah dan menangulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan, disebabkan karena cara pandang yang salah terhadap alam. Etika antroposentrisme menurut Keraf (2002) cenderung mangantarkan perilaku manusia yang ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari beberapa fakta berikut :
a. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi proses peradilan. Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi salah satu contoh. Hingga setahun lebih kasus yang menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses peradilannya belum jelas. Dugaan kuat karena pemilik PT. Lapindo Brantas adalah pejabat tinggi di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, ketika pengusaha menjadi penguasa maka tidak jarang kepentingan publik akan dikorbankan. Kondisi seperti ini mengakibatkan belum adanya law enforcement dan law of justice (penegakan hukum dan penegakan keadilan).
b. Mafia Peradilan dan Tekanan Pemodal. Keraf (2002) mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing multinasional banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus menggunakan superioritas ekonomi dan politik untuk melindungi kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang berkembang. Hal ini menjadi salah satu penyebab utama krisis lingkungan hidup. Kasus-kasus kejahatan lingkungan seringkali endingnya tidak membawa rasa keadilan Contoh ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat adalah bebasnya bos PT Newmont.
c. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan kelicikan. Diijinkannya 13 perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan model pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak pertambangan hanya berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam dan Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eksploitasi tambang dalam kawasan Hutan Lindung dipastikan akan berdampak negatif bagi lingkungan. Kolong-kolong dengan air asam eks pertambangn timah di Dabo Singkep, Bangka dan Belitung semestinya menjadi pelajaran. Namun dengan alasan kepentingan ekonomi sesaat, eksploitasi di kawasan lindung ini terus berlanjut. Kebijakan ini akan menekan peranan hutan sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan keragaman hayati. Fungsi hutan sebagai pendukung perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul penguasaan kawasan itu oleh pihak swasta. Disamping itu hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi hutan sebagai tempat hidup keragaman hayati dan penyeimbang iklim juga akan terganggu.
Kalau kita jujur, ternyata faktor-faktor pendorong kerusakan lingkungan di atas sangat berkaitan dengan etika dan sistem kehidupan. Lebih lanjut kita bisa melihat bahwa etika yang salah akan menjadi driving factor kerusakan lingkungan. Misalnya :
a. Etika Developmentalisme dan Liberalisasi Ekonomi. Keraf (2002) menyebutkan adanya keterkaitan erat antara liberalisasi perdagangan dengan kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia biasanya mengambil jalan termudah dalam menghadapi persaingan global, dengan cara menggadaikan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi.
Keraf (2002) juga menegaskan bahwa etika developmentalisme telah mengilhami ide utang luar negeri. Utang luar negeri telah mengantarkan dunia ketiga termasuk Indonesia pada kerusakan sumberdaya alam dan lungkungan yang sangat parah.
b. Sikap dan perilaku destruktif. Djajadiningrat (2001) mengatakan bahwa keutuhan lingkungan banyak tergantung pada kearifan manusia dalam mengelola sumberdaya alam. Individu, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah semestinya peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup dan fungsi lingkungan hidup. Namun acapkali sikap hidup manusia justru sangat destruktif terhadap lingkungannya. Misalnya kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya. Kebiasaan buruk ini bisa berdampak pada lingkungan kesehatan, pemandangan yang tidak menarik, mengakibatkan tersumbatnya saluran air dan lain-lain. Contoh lain adalah kebiasaan membakar hutan dan lahan dalam proses penyiapan lahan perkebunan, pertanian dan hutan tanaman industri. Kebiasaan buruk ini terbukti telah mengakibatkan bencana kabut asap yang sangat berbahaya bagi akifitis penerbangan, transportasi darat, kesehatan, pendidikan, dll. Akibat kebakaran hutan tahun 1997 misalnya, telah mengakibatkan rusaknya hidupan liar, habitat alamiah, dan hancurnya ekosistem. Bahkan WWF, menyebut tahun 1997 sebagai tahun terperangkapnya dunia oleh kebakaran (Glover, 2002).
Kebiasaan pengusaha pertambangan terbuka (open mining) yang tidak sungguh-sungguh melakukan reklamasi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang sangat parah. Seperti eksploitasi pasir di Kepri, pertambanagn Timah di Dabo-Singkep, Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan, Pertambangan Emas dan Tembaga di Papua.

Alternatif Solusi
Menyadari berbagai problematika lingkungan di atas, beberapa alternatif solusi yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut :
a. Perubahan cara pandang terhadap alam secara filosofis dan radikal.
Disadari bahwa etika antroposentrisme dan kapitalisme telah menjadikan alam hanya sekedar alat pemuas, hanya sekedar obyek eksploitasi manusia. Dan ternyata hal ini menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu dalam buku Etika Lingkungan, Keraf (2002) menuntut adanya perubahan radikal dalam masyarakat modern. Etika Antroposentrisme harus dirubah menjadi etika biosentrisme dan bahkan etika ekosentrisme. Namun etika baru ini tidak bisa direalisasikan manusia modern yang masih “tercemari” paradigma lama yang antroposentris. Sehingga perlu perubahan mendasar dan diaktualisasikan dalam wujud gerakan bersama membangun kultur baru yang ecosophy. Yakni gerakan bersama merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk menjadikannya sebagai tempat yang nyaman bagi semua kehidupan. Tentu pendekatan ini perlu atruan kehidupan dari Sang Maha Pencipta alam semesta. Disinilah urgensi etika lingkungan yang dilandasi spiritualitas tinggi.

b. Politik Lingkungan yang Dilandasi Etika Lingkungan.
Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janeiro berupa paradigma pembangunan berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti dengan paradigma keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada paradigma pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia akan kembali terjebak pada etika developmentalisme yang terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan. Developmentalisme menurut Wolgang Sach telah menjebak banyak negara di dunia. Hasil yang diperoleh adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di negara dunia ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara segelintir orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin, kehancuran lingkungan, dan tergusurnya budaya lokal. Oleh karena itu, disinilah urgensinya politik lingkungan dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma keberlanjutan ekologi yang luas sebagai alternatif dari konsep pembangunan berkelanjutan.
c. Hal lain yang sangat mendesak adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Disamping itu perlu adanya penegakan hukum lingkungan. Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang perlu dibahas tersendiri. Undang-undang Sumberdaya Air, Undang-undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya ditinjau kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Karena bila substansi peraturan perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan tidak pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil disobedience) dalam mematuhi peraturan perundang-undangan tersebut.
Konsep etika lingkungan yang dilandasi aspek spiritualitas sebagai koreksi fundamental kesalahan kapitalisme dan developmentalisme harus diaktualisasi secara komprehensip baik pada tataran individu, publik maupun negara. Diharapkan langkah ini akan memberi secercah harapan bagi upaya penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan. Sehingga bencana-bencana lingkungan seperti banjir tidak lagi menjadi musibah rutin yang menyengsarakan rakyat.Wallahu a’lam.

Referensi

Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung.

Djojohadikusumo, S.1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Glover, D, dan Timothy Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana. Diterjemahkan oleh Ario Trenggono. Penerbit ITB. Bandung.

Keraf, S.A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta .Terjemahan

Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif Solusinya dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20

Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soemarwoto, O, 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Baru Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam. Suara Bebas-Yayasan Kehati. Jakarta.

Harian Kompas, 9 Agustus 2005
Harian Ekonomi Neraca, 14 Februari 2007
Harian Riau Pos, 25 April 2007
Sigi, SCTV, Ahad 1 April 2007
Majalah Swasembada, 1997
www.dkp.go.id
www.dephut.go.id
www.walhi.or.id

2 komentar:

  1. Sayangnya sampai saat ini pihak yang peduli lingkungan tidak banyak....sehingga dimana-mana masih saja terjadi degradasi lingkungan....

    BalasHapus
  2. OK...Assalamu'alaikum.
    Baik/bagus sekali!
    Lalu....gimana kita segera mulai dan sehari-hari dilakukan. Misal : 1) di rumah mulai tanam-tanam, hemat berbagai macam enerji, hobi lagi dengan jalan kaki, dll. 2) Begitu pula dengan di kantor. Khusus yang ini, kertas sebagai sarana kerja, coba di sekitar printer kita cenderung nampak boros dan mubazir atau tidak. Yaa...disana-sini, para muda, tua dan anak-anak kelihatannya kampanyekan "Boros Kertas hutan amblas". So...! yang benakku dapat faham benar dengan ajakan itu, ucapkan selamat / apresiasi pada SULIGI. Kata anak-anak muda di Bandung baru-baru ini kurang-lebih "baca-tulis di layar kaca hindari efek rumah kaca". Begitu sementara, sampai nanti, dan wassalam.

    BalasHapus